Mentari seperti biasa
melaksanakan tugasnya. Menyinari dunia hingga ke pelosok manusia yang tak bisa
mencapainya. Cahaya – cahaya yang berdatangan seakan memberikan daya dan
semangat untuk mencari inspirasi yang indah untuk mewarnai hari – hari yang
akan ku jalani. Tidak hanya mentari, burung – burung pun ikut serta melakukan
kegiatan sehari – harinya. Berkicau – kicau sehingga membuat dunia seakan –
akan lebih berirama dengan lantunan – lantunan yang merdu nan indah.
Aku hanya seorang siswa yang bersekolah di sekolah yang
katanya sekolah unggulan disekitar sini. Aku masih menyandangkan status sebagai
junior untuk saat ini. Sebagai junior, tentu saja banyak hal – hal yang mungkin
sangat canggung untuk dilakukan. Takut dibilang aneh atau dipandang buruk
katanya. Gerak – gerik seakan – akan diikat karet, aku bias bergerak tetapi di
tarik kembali oleh elastisitasnya.
Seperti biasa aku menjalani kegiatan
bersekolah seperti biasa. Hadir duduk manis dikelas, mendengar celotehan
berharga dari guru tapi sayang aku tidak bisa menanggapi apa yang
disampaikannya dengan baik. Waktu istirahat, aku lebih memutuskan untuk duduk bermenung
di depan kelas. Bermenung tak tentu arahnya. Tetapi ada satu hari yang berbeda,
hari belajarnya ya seperti biasa saja. Tetapi istirahatnya berbeda. Aku tetap
melakukan seperti biasa, tetapi pandanganku berbeda. Bukan cara memandangku
yang berbeda, tetapi apa yang kupandang berbeda. Terduduk tidak jauh dari
tempat aku duduk seorang insan yang berlawan jenis dengan ku. Ya, salah seorang
kaum hawa yang cukup menarik focus pandangan ke satu titik. Aku tidak tahu
siapa dia dan tiba – tiba bel masuk kelas pun berbunyi.
Karena hal itu tadi, hari ku terasa
berbeda. Terus memikirkan bahwa dia itu sebenarnya siapa. Sehingga aku terus
berpikir bagaimana aku bisa mengetahui bahwa siapa dia. Dengan detak jantung
yang semakin kencang, aku mencoba memutuskan untuk memberanikan diri untuk
mencoba mendekatinya. Hingga tibalah hari dimana saat itu tiba. Dengan badan
yang cukup tegap dan langkah yang gemetaran, aku mulai menjalankan program yang
sudah aku tanamkan sebelumnya. Dengan bibir yang gemetar aku coba memulai
mengucapkan kata pembuka dengan salam. Ya, hasilnya sesuai pikiranku jauh –
jauh sebelumnya. Cuek juga. Karena kecuekan itu aku semakin penasaran. Hingga
pertikaian terjadi antara aku dengan dia. Keluarlah kata yang menyatakan bahwa
aku muak dengannya. Begitu juga dengannya.
Hari – hari terus berganti. Minggu
per minggu pun ikut berganti. Hingga tibalah satu hari dimana aku bertanya
dalam hati, mengapa bisa terjadi seperti ini. Aku pun coba mulai berbicara baik
dengannya. Ya, awalnya memang tak sesuai yang diharapkan. Tetapi aku tidak
menyerah sampai disitu saja. Tanpa kenal yang namanya menyerah, aku terus
berusaha seiring hari yang terus berjalan. Hingga tibalah hasil yang sudah
kutunggu – tunggu. Pikiran kami sudah selaras. Komunikasi pun juga sudah mulai
membaik. Tapi, aku mulai merasakan hal yang berbeda dari biasanya. Rasa nyaman
pun timbul di benak aku. Aku tidak tahu kalau dianya bagaimana.
Hari terus kujalani, cukup berbeda
dari biasanya karena aku sudah mendapatkan ‘moodbooster’ku untuk menjalani hari
– hari. Aku berharap tidak ada perubahan antara aku dengan dia.
Waktu terus berjalan. Hingga tiba
saatnya aku mendengar bahwa dia akan menjadi seorang petinggi alias pejabat.
Ketakutan ku mulai timbul. Hati ku semakin gelisah. Aku tidak bisa berbuat
banyak. Manusia cukup terlena dengan tahta. Aku sempat berpikiran kalau tahta
akan merubah ini semua.
Aku tidak bisa berbuat apa – apa.
Aku hanya sebagai rakyat jelata disekolah ini tidak bisa berbuat banyak. Aku
hanya berpikiran kalau pendapatku tidak akan didengar. Aku hanya berpikiran
bahwa aku tidak akan dihargai nantinya. Aku hanya bisa berdo’a kepada sang
pencipta semoga Tuhan bisa membatu dia untuk terus bisa menjaga hatinya.
Tiba harinya. Dia benar – benar
menyandang tahta yang cukup dipandang oleh para rakyat jelata. Aku semakin
takut dan gelisah. Hari – hari mulai berubah. Dia pun juga ikutan berubah.
Ternyata ketakutan ku menjadi nyata. Dia pun mulai meninggalkan ku. Gaya
hidupnya pun juga ikutan berubah hanya karena tahta yang disandangnya. Ternyata
dugaanku benar. Ternyata pemikiran aku selama ini benar. Tahta merusak
segalanya.
Aku mulai ditinggalkan. Ibarat habis
manis sepah dibuang. Kini aku kehilangan ‘moodbooster’ yang memacu hari – hari
ku. Menyesal memang, tapi apa daya. Hari – hari tetap kujalani. Tetapi, tiba –
tiba aku tersentak. Aku terbangun. Ternyata hanya mimpi belaka. Tetapi
ketakutan itu tetap saja menghantui aku. Aku hanya bisa berharap semoga Tuhan
bisa menjaga hatinya.
September 22, 2015
Writer : Kevin Ardivan
Sekadar Fiksi
0 comments:
Posting Komentar